Jumat, 02 September 2011

ditolak taksi

hari itu hari Senin, sehari sebelum Lebaran,
setidaknya itu yang tercatat di kalender, yang mana pukul 8 malam hari itu,
dijadikan pula hari Lebaran jatuh di hari Rabu, bukan hari Selasa.

sehabis dari kantor, karena merasa tidak ingin cepat pulang
ke rumah juga, ku dan dua kolega kantor pergi ke sebuah kafe di jalan Senopati.
minum kopi, mengobrol, dari jam 6 sore sampai jam 9 malam,
sebenarnya bisa sampai lebih larut lagi,
tapi tidak karena mereka harus tutup untuk membiarkan
pegawai-pegawainya menikmati malam takbiran, yang mana ternyata batal juga malam itu.

pisah sama dua kolega itu di depan kantor,
suasana jalan cukup sepi, khas nuansa Jakarta yang sudah
ditinggal pergi penghuninya untuk mudik.
menunggu taksi. satu dua tiga taksi datang dan lewat,
entah tangan ini ga berniat menyetop.
jadi ku berdiri aja di depan pos satpam gedung kantor,
menunggu sekitar setengah jam lebih,
menunggu sambil menikmati angin malam.

lalu satu bus AC datang, menepi karena memang menunggu penumpang yang sepi.
terpikir, ini memang bukan bus yang untuk tujuan pulang,
setidaknya kalau naik bus ini bakal harus cari angkutan umum lagi
untuk sambung sampai ke rumah.
tapi, memang dasarnya belum mau pulang, akhirnya ku naik bus AC itu.
selama di dalam bus, hanya mendengarkan musik,
memandang ke luar jendela, menikmati suasana malam.
hingga sampai di satu perempatan besar,
tempat ku harus turun dan ganti angkutan umum untuk bisa pulang ke rumah.

di perempatan besar itu, satu taksi lewat, langsung diberhentikan,
dan ku naik. 'burung biru' banyak yang menyebutnya.
satu dua lampu merah dilewati, sampai di persimpangan dimana ternyata macet.
jalanan di ujung depan terlihat padat karena sepanjang jalan ditutupi pedagang kaki lima.
supir taksi itu dengan tegas langsung bilang, dia tidak mau lewat jalur itu,
dan ku harus mau ikut sarannya ambil jalur memutar cukup jauh,
tapi, ku memilih turun. lebih ingin dapat taksi lain yang lebih sopan.

menunggu di pinggir jalan yang ramai itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
satu dua taksi mau berhenti, tapi begitu tau tujuannya harus melewati jalan yang memang macet di depan itu, mereka menolak semua. yap, ditolak berkali-kali.

jalan kaki bukanlah ide yang buruk.
masih sekitar 2-3 kilometer lagi sampai ke rumah.
dan lagi pula, saat itu hanya memakai pakaian yang ringkas.
mulailah kaki berjalan menembus jalan yang ramai itu.

jalan yang terdiri dari 4 jalur. satu jalur terpakai untuk busway.
satu jalur untuk jalan mobil.
dua jalur lainnya? terisi pedagang kaki lima.
sangat semrawut memang, tapi begitulah, suasana menjelang lebaran, katanya.

sepanjang jalan, berjalan dengan siaga,
berusaha cepat, tangan di depan badan memegang erat tas kecil,
juga terus waspada dengan keberadaan dompet di saku depan celana.
sering kali harus berjalan bermanuver supaya tidak menabrak dan
ditabrak orang lain di jalan yang penuh sesak itu.

hasilnya? tetap saja. tersenggol, terdorong, terdiam ga bergerak
menunggu orang di depan untuk bisa maju terlebih dahulu, penuh keringat, emosi.

lalu sampai di satu titik, ku terdiam melihat satu anak kecil menangis.
menangis di depan lapak yang menjual pakaian wanita.
ada ibunya di dalam, menggendong adiknya yang mungkin cm berbeda beberapa tahun.
sang ibu sibuk memilih pakaian, seperti tidak terganggu dengan keadaan si anak yang menangis kencang di depan lapak itu, tepat di bawah tulisan "1 pasang 20 ribu".

24 ribu adalah harga segelas Diet Coke yang sudah ku minum malam itu.
hampir dikali duanya, harga segelas kopi dingin yang ku minum juga sebelumnya.

sejenak tersentak, namun ku terus berjalan.
semakin berjalan, semakin melihat tulisan di lapak-lapak yang ku lewati.
jam tangan 20 ribu, sepatu 40 ribu, celana 50 ribu, dan lain lain.
dan mayoritas lapak terisi orang-orang yang
terlihat sangat mengincar barang-barang tersebut.

satu jam tangan harga 100 kali lipat, sepasang sepatu harga 20 kali lipat,
satu celana harga 10 kali lipat, satu kaos harga 10 kali lipat.

kaki terinjak, bahu terdorong orang yang berjalan berlawanan arah,
keringat bercucuran dari sela-sela rambut di kepala.
yang ada di kepala hanyalah, sedih, sakit, pusing, bingung. harus sekontras ini kah?

jikalau mereka tau apa yang ku pakai,
apa yang ada di badanku saat itu sangat kontras dengan apa
yang sedang mereka hadapi waktu itu, apakah mereka akan sangat marah?

ku bisa berkomentar emosi tentang yang lebih dari kondisiku ini,
pernahkah berpikir, justru yang dibawah juga bisa jadi berhak marah?

kondisinya terlalu besar dan tidak mudah.
ucapan itu pun terlalu susah untuk ku ucapkan,
kalau ku harus melakukan pembelaan.

hidup tidak mudah, jangan lupa akan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar